Odalan itu ialah bentuk rasa syukur atas peringatan peresmian Parahyangan atau Pura yang dirayakan tiap enam bulan dan setahun sekali, tergantung dari perhitungan waktu yang digunakan. Istilah Parahyangan digunakan sebagai pengganti Pura, karena di Jawa Barat tidak mengenal istilah Pura, tetapi Parahyangan.
Parahyangan setinggi 900 meter di areal sekitar tiga hektare itu menjadi yang tertinggi dan terbesar kedua di Indonesia, setelah Pura Besakih di Bali. Tak mengherankan, keberadaannya menjadi magnet bagi umat Hindu di sekitar Jawa, terutama di Jawa Barat dan sekitar Jakarta untuk bersembahyang.
Kala Odalan, semua umat berbaju serbaputih, lengkap dengan ikat kepala dan kain, sedangkan para wanita mengenakan kebaya dan kain.Setibanya di pura mereka melepas alas kaki sebelum bersembayang. Dipimpin pemangku, mereka berjalan dengan anggun membentuk barisan sambil membawa Pratima di atas kepala untuk mengambil air suci, sedangkan sang pria memayungi.
Tiba di tempat upacara, suasana khidmat menyeruak, hanya suara Bajra (lonceng) dan doa pendeta yang mendominasi. Tangan-tangan menjepit kelopak bunga kamboja di atas kepala, sambil memanjatkan doa. Air suci dari wadah kemudian dicipratkan ke arah umat, tak ada yang ketinggalan.
Tak lama kemudian, para gadis belia yang belum menstruasi menarikan tarian Rejang Dewa di tengah lapangan. Tidak ketinggalan Tari Baris serta Tari Topeng yang merupakan tarian sakral untuk mengiringi upacara hari itu. Semua memanjatkan doa agar terwujudnya rasa persaudaraan dan kebersamaan (vasudaiva kuthumbakam) dan meningkatkan kepedulian umat Hindu terhadap sesama serta lingkungan sekitar. (M-5) Media Indonesia, 21/12/2014 halaman 28
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus