PEMERINTAH saat ini tidak boleh seenaknya lepas tangan dalam persoalan beban subsi di energi dan melemparnya ke pemerintah mendatang. Apalagi, subsidi energi yang terus membengkak merupakan akibat ketidakmampuan pemerintah merampungkan programprogram yang telah direncanakan.
“Masih ada lima bulan. Harusnya masih banyak yang bisa dilakukan pemerintah ini,“ cetus ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati, ketika dihubungi, kemarin. Nina menyayangkan dari begitu banyaknya program pengendalian konsumsi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), sebagian besar tidak berjalan. Ia mencontohkan program RFID (radio frequency identification) untuk memonitor pembelian BBM subsidi yang tidak dijalankan 100%.
“Lalu konversi ke gas, itu bagus tapi wacana saja, tidak ada implementasinya. Jadi intinya kalau ada kebijakan harus dijalankan,“ ujar Nina.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan tanpa upaya yang lebih berarti untuk menekan belanja subsidi energi di APBN, total subsidi yang harus dibayar di APBN 2015 bisa mencapai Rp500 triliun.
Pada APBN 2014, total subsidi ditetapkan sekitar Rp361,6 triliun.
Dari jumlah itu, Rp210,735 triliun merupakan subsidi BBM dan elpiji 3 kg. Kemudian, sebanyak Rp71,364 triliun berupa subsidi listrik. Dalam perhitungan Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2014, subsidi BBM diperkirakan membengkak Rp75 triliun akibat melemahnya kurs rupiah dan kenaikan konsumsi.
“Pengendalian subsidi harus dimulai dari sekarang kalau mau mengurangi supaya kuota BBM bersubsidi tidak membengkak,“ tutur Enny.
Enny menilai tidak ada perubahan signifikan yang bisa mengurangi konsumsi BBM. Alih-alih, konsumsi bisa dihemat 2 juta kl, Enny justru khawatir realisasi konsumsi bengkak ke 50 juta kl dari kuota yang ditetapkan dalam APBN 2014 yang sebanyak 48 juta kl.
“Pemerintah berikutnya akan terima warisan buruk. Persoalannya juga kedua calon presiden tidak ada yang berani komentar soal subsidi BBM.
Padahal, ini persoalan krusial.“
Tarif listrik Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajukan sejumlah cara untuk mengurangi volume kuota BBM bersubsidi menjadi 46 juta kl dan beban subsidi turun Rp5,95 triliun.
Cara itu ialah dengan menaikkan tarif listrik per 1 Juli mendatang sehingga beban subsidi turun lagi Rp8,51 triliun. Jika penaikan itu disetujui DPR dan dijalankan, penurunan tekanan subsidi hanya akan mencapai Rp14,46 triliun.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan langkah menaikkan tarif listrik itu keliru. Penaikan tarif akan menambah beban industri, yang sebelumnya sudah harus menghadapi penaikan upah minimum pekerja dan suku bunga. Beban biaya produsen, ujar Tulus, tentu ujungujungnya dialokasikan kepada konsumen.
Menurut Tulus, bila pemerintah ingin menghemat anggaran subsidi listrik, seharusnya subsidi yang dikurangi ialah untuk rumah tangga berkapasitas 450 VA-900 VA.
“Penaikan 5% tidak akan membebani pengguna, karena hanya menambah pengeluaran Rp1.500-Rp2.000 per bulan dari biaya Rp42 ribu. Namun, pemerintah bisa menghemat anggaran hingga triliunan rupiah,“ jelas Tulus. (Bow/Ant/E-2) - Media Indonesia, 09/06/2014, halaman 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar